Arsip

Archive for Juli, 2010

Hakikat Kompetensi Guru

Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA MELALUI METODE BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS IV SD

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA MELALUI METODE BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS IV SDN NO. 30 KOTA SELATAN
KOTA GORONTALO

DISUSUN
O
L
E
H

SITI MARHUMAH
NIM : 151 407 130

PROGRAM STUDI S1 PGSD
JURUSAN PENDIDIKAN ANAK
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2009

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada umumnya tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang berkualitas. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan yang dimaksud adalah dengan meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendidikan bukan hanya berlaku selama bersekolah tetapi pendidikan itu berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di lingkungan keluarga, masyarakat serta di sekolah. Oleh karena itu pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan yang berlangsung di sekolah pada dasarnya untuk melatih, mendidik, membina agar peserta didik mampu berpikir. Melalui latihan berpikir inilah mereka memperoleh berbagai macam pengetahuan dalam memecahkan masalah yang timbul baik itu masalah yang terdapat di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Peningkatan mutu pendidikan anak didik bukan hanya memperoleh pengetahuan melalui pemberian masalah tetapi menemukan sendiri masalah. Hal ini merupakan suatu penghargaan bagi dirinya sehingga dapat menimbulkan kepuasan diri yang ditandai dengan terbentuknya rasa aman, mental sehat, terbuka, kreatif dan sifat-sifat lain yang mendukung terbentuknya manusia seutuhnya.
Untuk mencapai mutu pendidikan utamanya pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah menengah umum dilaksanakan berupa pembaharuan penyempurnaan dan kebijakan di bidang pendidikan.
Proses belajar mengajar akan terjadi interaksi timbal balik antara guru dan siswa dan antara siswa dengan siswa itu sendiri. Berhasil tidaknya proses belajar mengajar sangat ditentukan oleh keberhasilan guru dalam mengajar. Dalam dunia pendidikan khususnya di sekolah dasar pelajaran bahasa Indonesia di berikan mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 yang meliputi empat aspek yaitu berbicara, menyimak, mendengar dan menulis. Berbicara merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri di mana dan ke mana pun, berbicara secara efektif merupakan suatu unsur penting terhadap keberhasilan kita dalam semua kehidupan. Albert dalam Tarigan, (1984 : 26).
Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati. Proses belajar mengajar merupakan interaksi yang dilakukan antara guru dengan peserta didik dalam suatu pendidikan untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Seorang guru sudah barang tentu dituntut kemampuannya untuk menggunakan berbagai metode dalam pembelajaran di SDN No.30 kota selatan kota Gorontalo. Pada pelajaran bahasa Indonesia hanya dilakukan dengan menyuruh murid berdiri di depan kelas untuk berbicara misalnya bercerita atau berpidato. Sedangkan siswa yang lain diminta mendengarkan. Akibatnya, pengajaran berbicara kurang menarik. Siswa yang mendapat giliran merasa tertekan sebab di samping harus menyiapkan bahan sering kali juga melontarkan kritik yang berlebih-lebihan sehingga siswa merasa kurang tertarik kecuali ketika mendapat gilirannya.
Dengan melihat kenyataan di lapangan, diduga kurangnya kemampuan siswa dalam berbicara/mengungkapkan perasaan disebabkan oleh penyajian guru dalam pembelajaran yang sebagian besar menggunakan metode ceramah, tanpa peragaan atau gerakan-gerakan dan ekspresi wajah yang sesuai.
Apabila hal di atas dibiarkan berlarut-larut maka dapat mengakibatkan dampak seperti menurunnya prestasi belajar siswa serta dirasakan sulit bagi siswa untuk berbicara/mengungkapkan perasaan dengan nada dan gerak serta mimik wajah yang sebenarnya. Untuk dapat mengatasi hal di atas, dipandang perlu adanya penggunaan metode yang bervariasi.
Penggunaan metode bermain peran adalah cara tepat bagi siswa untuk belajar dan berlatih berbicara dengan mengungkapkan perasaan melalui gerakan-gerakan serta ekspresi wajah, sehingga kemampuan berbicara siswa lambat laun semakin meningkat. Metode yang ditempuh dalam pembelajaran berbicara melalui metode bermain peran akan lebih baik jika guru benar-benar tepat dan baik dalam membelajarkan metodenya. Sehingga dengan metode yang dilakukan dapat membuahkan hasil yang memuaskan oleh karena dilakukan sesuai dengan langkah-langkah yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik dan termotivasi untuk mengangkat judul “Meningkatkan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran Siswa Kelas IV SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo.”

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Pembelajaran lebih berpusat pada guru mengakibatkan siswa menjadi kurang aktif dalam pembelajaran
2. Sebagian besar siswa tidak dapat menyelesaikan soal-soal pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
3. Rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini yakni “Apakah dengan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran dapat Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo ?

1.4 Pemecahan Masalah
Meningkatkan kemampuan berbicara siswa melalui metode bermain peran dapat di pecahkan dengan cara berlatih dan mempraktekkan langsung langkah-langkah keduanya.

1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan Hasil Belajar siswa di Kelas IV SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo ?
2. Untuk meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa di Kelas IV SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo ?

1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Untuk guru
Guru melatih dan menumbuhkembangkan keterampilan siswa terutama dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa serta mewariskan pada anak didiknya.
2. Untuk siswa
Untuk siswa dapat memberikan kegembiraan melalui bermain di mana permainan (bermain peran) menjadi alat pendidikan yang memberikan rasa kepuasan kebahagiaan anak didik karena dalam belajar dilakukan sambil bermain.
3. Untuk sekolah
Dapat menciptakan kehangatan dalam berkomunikasi baik antar kepala sekolah, guru maupun siswa, karena adanya kemampuan berbicara yang baik dan lancar.
4. Untuk peneliti
Peneliti perlu meningkatkan frekuensi keikutsertaan guru dalam meningkatkan kemampuan berbicara siswa melalui kegiatan bermain peran.

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Hakikat Berbicara
“Berbicara secara umum dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dipahami oleh orang lain”. Zamzani dan Haryadi, (1996: 54). Pengertian secara khusus banyak dikemukakan oleh para pakar seperti Tarigan dalam Zamzani dan Haryadi, (1996 : 54) mengemukakan “Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan menyatakan pikiran, gagasan dan perasaan”.
“Berbicara pada hakikatnya merupakan proses komunikasi, sebab di dalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat lain”. Zamzani dan Haryadi, (1996 : 54). Berbicara merupakan bentuk perilaku yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, semantik, dan linguistik. Pada saat berbicara orang memanfaatkan faktor fisik yaitu alat ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa. Bahkan organ tubuh lain seperti kepala, tangan, dan roman muka dimanfaatkan dalam berbicara. Faktor psikologis memberikan andil yang cukup besar terhadap kelancaran berbicara. Stabilitas emosi misalnya, tidak hanya berpengaruh pada kualitas suara yang dihasilkan oleh alat ucap, tetapi berpengaruh juga terhadap keruntutan bahan pembicaraan. Berbicara tidak lepas dari faktor neurologis yaitu jaringan syaraf neuron yang menghubungkan otak kecil dan mulut, telinga, dan organ tubuh lain yang ikut dalam aktivitas berbicara. Demikian pula faktor semantik yang berhubungan dengan makna serta faktor linguistik yang berhubungan dengan struktur bahasa yang selalu berperan dalam kegiatan berbicara. Bunyi yang dihasilkan alat ucap kata-katanya harus disusun agar menjadi lebih bermakna. Zamzani dan Haryadi, (1996 : 56). Selanjutnya menurut Stewart dan Kenner Zimmer dalam Zamzani dan Haryadi, (1996 : 56) memandang kebutuhan akan komunikasi yang efektif dianggap suatu yang esensial untuk mencapai keberhasilan setiap individu maupun kelompok.
Berbicara merupakan hal mudah namun bukanlah hal sepele, akan tetapi berbicara dengan memperhatikan langkah-langkah berbicara itu yang dianggap mudah dan baik.
“Berbicara merupakan cara berkomunikasi bagi manusia sebagai makhluk sosial yaitu suatu tindakan saling menukar pengalaman, saling mengemukakan dan menerima pikiran, saling mengutarakan perasaan dan mengekspresikannya”. Tarigan, (1984 : 67). Oleh karena itu dalam tindakan sosial suatu masyarakat dalam menghubungkan sesama anggota masyarakat tersebut diperlukan komunikasi. Pengajaran berbicara perlu memperhatikan dua faktor yang mendukung ke arah tercapainya pembicaraan yang efektif yaitu (1) faktor kebahasaan seperti ; (a). pelafalan bunyi bahasa, (b). penggunaan intonasi, (c). pemilihan kata dan ungkapan, (d). penyesuaian kalimat paragraf. Sementara faktor yang ke(2) yaitu faktor non kebahasaan meliputi ; (a). ketenangan dan kegairahan, (b). keterbukaan, (c). keintiman, (d). isyarat non verbal, dan (e). topik pembicaraan. Haryadi dan Zamzani, (1996 : 61).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah kegiatan berkomunikasi secara lisan yang di dalamnya berisi penyampaian pesan dari sumbernya ke tempat lain dan kadang kala disertai gerak serta mimik (ekspresi) sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh pembicara.
2.1.2 Langkah-langkah Berbicara
Keterampilan berbicara di depan khalayak ramai (public speaking) tidak akan muncul begitu saja pada diri seseorang. Keterampilan diperoleh setelah melalui berbagai latihan dan praktek penggunaannya. Karena itulah para ahli banyak menaruh perhatian terhadap upaya membina dan mengembangkan keterampilan berbicara.
Enhinger, dkk (dalam Tarigan, 1991 : 195) mengajukan delapan langkah dalam berbicara yaitu ; (a) menyeleksi dan memusatkan pembicaraan, (b) menentukan tujuan khusus pembicaraan, (c) menganalisis pendengar dan situasi, (d) mengumpulkan materi pembicaraan, (e) menyusun kerangka dasar pembicaraan, (f) mengembangkan kerangka dasar, (g) berlatih dengan suara keras, jelas, dan lancar, (h) menyajikan pembicaraan.
Keraf (dalam Tarigan, 1991 : 195) mengusulkan tujuh langkah dalam berbicara. Ke tujuh langkah tersebut yaitu : (a) menentukan maksud, (b) menganalisis pendengar dan situasi, (c) memilih dan menyempitkan topik, (d) mengumpulkan bahan, (e) membuat kerangka uraian, (f) menguraikan secara mendetail, dan (g) berlatih dengan suara nyaring.
Selanjtnya Wainright (dalam Tarigan, 1991 : 196) menyarankan enam langkah dalam berbicara :
a) Memilih topik
Dalam berbicara haruslah memilih topik yang sesuai dengan permintaan atau tuntutan di mana kita akan tampil sebagai pembicara.
b) Menguasai dan menguji topik
Topik yang dipilih sesuai dengan tuntutan keadaan dan harus dipahami, dimengerti, dan dikuasai oleh pembicara. Kemudian topik dikaji dan diuji dari berbagai sudut pandang.
c) Memahami pendengar dan situasi
Sebelum pembicaraan berlangsung, pembicara harus menganalisis latar belakang pendengar dan situasi seperti minat, kebiasaan, usia, harapan, jenis kelamin, tingkat kemampuan, pekerjaan, ruangan, tempat, lokasi, suasana lingkungan (tenang, bising), waktu (pagi, siang, sore, malam), dan sarana (pengeras suara, penerangan), dan sebagainya.
d) Menyusun kerangka
Berdasarkan topik yang telah dipilih, susunlah kerangka pembicaraan. Kerangka pembicaraan yang tersusun baik sangat bermanfaat bagi pembicara sendiri dan juga pendengar. Bagi pembicara kerangka berfungsi sebagai pedoman, penuntun arah mengisi pembicaraan. Sedangkan bagi pendengar, kerangka berfungsi sebagai sarana memudahkan mengikuti dan memahami isi pembicaraan.
e) Mengujicobakan
Apabila kerangka pembicaraan sudah tersusun dengan baik, maka perlu diujicobakan. Pertama, mengundang beberapa teman dan bila telah selesai mintalah teman-teman untuk mengkritik penampilan. Kedua, rekamlah pembicaraan sebagai balikan paling lengkap yakni memutar kembali pembicaraan yang diambil pada waktu permainan berlangsung. Ketiga, berbicara di depan cermin dan amatilah penampilan dalam cerita tersebut.
f) Menyajikan pesan, pembicaraan harus berpedoman pada butir-butir pembicaraan. Biasanya pembicaraan menggunakan kartu kecil, sehingga pembicaraan dapat menguraikan satu persatu secara wajar, tidak berlebih-lebihan apalagi dibuat-buat.
Dalam berbicara hendaknya menggunakan bahasa yang sederhana sesuai taraf kemampuan pendengar. Aturlah suasana agar tidak terlalu formal, sekali-kali dapat diselipkan humor dalam pembicaraan agar pendengar lebih bergairah.
2.1.3 Hakikat Bermain Peran
Istilah bermain peran mempunyai empat pengertian, yaitu (1) sesuatu yang bersifat sandiwara di mana pemain memainkan peran tertentu sesuai dengan lakon yang sudah ditulis dan memainkannya untuk tujuan hiburan; (2) sesuatu yang bersifat sosiologis atau pola-pola perilaku yang ditentukan oleh norma-norma sosial; (3) suatu perilaku tiruan atau tipuan di mana seseorang berusaha memperbodoh orang lain dengan jalan berperilaku berlawanan dengan apa yang sebenarnya diharapkan, dirasakan, atau diinginkan; dan (4) sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan di mana individu memerankan situasi yang imajinatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri sendiri, meningkatkan keterampilan, menunjukkan perilaku kepada orang lain bagaimana perilaku seseorang atau bagaimana seseorang harus bertingkahlaku. Corsini (dalam Tatiek, 2001 : 99).
Bennet, dalam Tatiek (2001 : 99) mengemukakan bahwa bermain peran adalah suatu alat belajar yang mengembangkan keterampilan-keterampilan dan pengertian-pengertian mengenai hubungan antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang paralel dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya.
Corsini, dalam Tatiek (2001 : 99) menyatakan bahwa bermain peran dapat digunakan sebagai : (a) alat untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang dengan cara mengamati perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya; (b) media pengajaran, melalui proses “modeling” anggota dapat lebih efektif melalui keterampilan-keterampilan antar pribadi dengan mengamati berbagai macam cara dalam memecahkan masalah; dan (c) metode latihan untuk melatih keterampilan-keterampilan tertentu melalui keterlibatan secara aktif dalam proses bermain peran.
Dari sekian banyak pengertian bermain peran, dapat disimpulkan bahwa bermain peran adalah suatu kegiatan yang di dalamnya melakukan perbuatan-perbuatan yaitu gerakan-gerakan wajah (ekspresi) sesuai dengan apa yang diceritakan.
Namun yang penting untuk diingat bahwa bermain peran yang dikembangkan di Sekolah Dasar adalah kegiatan sebagai media bermain peran.
Kemampuan berperan di sini meliputi kemampuan menghayati emosi, kesukaan, kesedihan, dan kebiasaan-kebiasaan lain dari tokoh yang diperankan. Kemudian penghayatan terhadap mimik, gerak tubuh,intonasi suara yang dimiliki tokoh tersebut.
2.1.4 Langkah-langkah Bermain Peran
Dalam bermain peran langkah-langkah yang harus ditempuh yaitu ada empat langkah sebagai berikut menurut Hesti dkk, (2004) :
(a) Membacakan naskah drama atau percakapan dengan intonasi jeda, lafal, dan volume suara yang sesuai. Kalimat-kalimat dalam kurung tidak perlu dibaca, karena kalimat-kalimat tersebut merupakan petunjuk laku.
(b) Menentukan watak tokoh dan ekspresi yang tepat untuk memerankan tokoh tersebut.
(c) Berlatih berulang-ulang sampai betul-betul dapat memerankan tokoh dengan baik.
(d) Menggunakan perlengkapan panggung dan kostum yang sesuai agar percakapan yang diperankan lebih hidup.
Apabila hal-hal di atas dapat dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh, maka secara otomatis akan menjadikan hidupnya percakapan karena dilakukan oleh anak-anak yang aktif dan kreatif sesuai dengan watak tokoh masing-masing.

2.1.5 Metode Bermain Peran
Metode bermain peran atau teknik pengajaran adalah suatu cara penguasaan pelajaran kegiatan pengembangan imajinasi penghayatan suatu tokoh tertentu. Tarigan dkk (1991 : 389). Teknik bermain peran sangat baik dalam mendidik siswa untuk menggunakan ragam-ragam bahasa.
Bermain peran dapat dilakukan dalam berbagai macam peranan. Seseorang dapat memerankan berbagai peran dalam satu harinya, misalnya sebagai seorang ibu, istri, teman, kepala sekolah, penjual, pembeli, dan sebagainya. Pada setiap peranan tersebut seorang anak harus dapat berperilaku sesuai dengan peran yang dilakukannya. Cara anak berperilaku pada setiap peranan tersebut bergantung pada status atau posisinya dengan pasangan perannya. Jadi, perilaku ibu kepada anaknya berbeda dengan perilakunya terhadap suaminya dan berbeda pula dengan perilakunya terhadap bawahannya di sekolah.
Cara berbicara orang tua tentu berbeda dengan cara berbicara anak muda, cara berbicara pembeli berbeda dengan cara berbicara penjual. Fungsi dan peranan seseorang menuntut cara berbicara atau berbahasa tertentu pula. Tarigan dkk (1991 : 389).
Dalam bermain peran, siswa bertindak, berlaku, dan berbahasa sesuai dengan peranan tokoh yang diperankannya. Misalnya sebagai guru, polisi, hakim, dokter, pedagang, dan sebagainya. Setiap tokoh tertentu menuntut karakteristik tertentu pula. Dengan kata lain kepribadian seseorang adalah keseluruhan peranan yang diperankannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan sekalipun. Seseorang dapat dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik apabila dapat berperilaku sesuai dengan peranan yang dimilikinya baik sebagai individu maupun makhluk sosial.
2.1.6 Kelemahan dan kelebihan

2.1.7
2.2 Hipotesis Tindakan
Menurut Arikunto (1999 : 62) hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap suatu permasalahan penelitian sampai terbukti melalui alat-alat yang terkumpul. Yang menjadi hipotesis dalam penelitian tindakan yaitu jika metode bermain peran diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, maka dapat dengan mudah dipahami oleh siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbicara.

2.3 Indikator Kinerja
Proses kegiatan belajar mengajar dilaksanakan melalui tindakan kelas yang dititikberatkan pada kemampuan berbicara melalui metode bermain.
Selama berlangsungnya proses kegiatan belajar mengajar diadakan pengamatan langsung dari hasil capaian siswa. Di katakan berhasil pada proses belajar mengajar apabila dalam evaluasi siswa mendapat nilai rata-rata 75 dengan persentase 75% dengan predikat memuaskan. Sedangkan bila hasil capaian siswa pada proses belajar mengajar dapat predikat kurang memuaskan maka dipandang perlu untuk mengadakan pengajaran ulang sehingga siswa benar-benar paham memainkan perannya.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Seting dan karakteristik subjek penelitian
3.1.1seting penelitian
Penelitian ini di laksanakan di SDN No.30 kota selatan kota gorontalo
Penelitian ini bertempat di lokasi SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo pada siswa kelas IV berjumlah 29 orang
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo yang terletak di Jl. Jaksa Agung Suprapto Kelurahan Limba U 1 dengan 1 orang kepala sekolah dan 40 guru serta jumlah siswa sebanyak 451 orang.

3.2 Prosedur Penelitian
Adapun penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dengan bentuk penelitian tindakan kolaboratif yang berpedoman pada langkah-langkah yang dikemukakan oleh Arikunto (2007:16). Komponen pokok dalam penelitian tindakan ini adalah:
1. Perencanaan (planning)
2. Pelaksanaan tindakan (acting)
3. Pengamatan (observing)
4. Refleksi (reflecting)
Hubungan keempat konsep pokok tersebut dapat digambarkan dengan diagram berikut:

Gambar 3.1: Empat Konsep Pokok Pada Penelitian Tindakan Kelas

3.2.1 Tahap Persiapan
a. Mengadakan konsultasi dengan guru dan kepala sekolah dalam rangka mempersiapkan penelitian.
b. Menyiapkan administrasi pembelajaran.
c. Menyiapkan media yang akan digunakan dalam pembelajaran.
d. Menyusun instrumen pemantau.
3.2.2 Tahap Pelaksanaan
Dalam penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan secara bertahap atau berkelanjutan sebanyak 2 siklus dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Siklus I
1. Peneliti melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada materi berbicara atau percakapan melalui metode bermain peran.
2. Peneliti menjelaskan materi tentang berbicara atau percakapan dengan menggunakan metode bermain peran serta dilengkapi dengan media atau perlengkapan yang dibutuhkan sesuai dengan teks percakapan.
3. Peneliti membagikan teks percakapan berjudul “malu Kepada Paman”.
4. Peneliti meminta siswa untuk membentuk kelompok masing-masing kelompok terdiri dari 3 orang kemudian berlatih.
5. Peneliti mengevaluasi siswa untuk maju ke depan kelas memerankan tokoh sesuai dengan teks percakapan bersama kelompoknya sehingga semua siswa aktif dan terlibat langsung dalam memerankan tokoh-tokoh cerita.
Dari tindakan yang dilakukan pada siklus I dapat dilihat dan diketahui hasil capaian belajar siswa. Jika hasil capaian pada siklus I belum mencapai target yang diinginkan, maka peneliti harus melaksanakan tindakan pada siklus berikutnya yaitu siklus II, sehingga hasil belajar mencapai nilai yang telah ditargetkan.
b. Siklus II
Dengan berdasarkan pada siklus I maka dilanjutkan dengan siklus II. Langkah-langkah yang dilakukan pada siklus II yaitu :
1. Peneliti mengulangi penjelasan tentang materi percakapan.
2. Peneliti membimbing siswa untuk berlatih berbicara melalui bermain peran dengan lebih menekankan bahwa kegiatan bermain peran sama halnya berbicara menggunakan gerak tubuh dan ekspresi yang sesuai.
3. Peneliti memberikan bimbingan bagi siswa yang belum bias untuk berperan dengan baik, dan menindaklanjuti serta memotivasi siswa secara umum.
4. Peneliti mengevaluasi siswa untuk memerankan tokoh-tokoh cerita bersama kelompok masing-masing.

3.2.3 Tahap Pemantauan dan Evaluasi
Pelaksanaan pemantauan terhadap keberhasilan siswa dalam memerankan tokoh cerita dilakukan pada saat proses belajar mengajar berlangsung dengan penyajian materi atau metode yang digunakan yaitu metode bermain peran. Sedangkan evaluasi yang dilaksanakan yaitu evaluasi proses yang mana evaluasi dilakukan langsung pada saat proses belajar mengajar dengan meminta siswa untuk memerankan tokoh cerita bersama kelompoknya masing-masing di depan kelas.
3.2.4 Tahap Analisis dan Refleksi
Analisis data pengujian untuk penilaian tindakan kelas ini dilakukan pada saat proses belajar mengajar berlangsung, dengan memperhatikan secara bertahap dan berkesinambungan setiap akhir siklus sehingga menampakkan perbedaan antara hasil pelaksanaan pada setiap siklus dengan menggunakan analisis kualitatif.
Dari hasil analisis data pada siklus I dan siklus II dapat diketahui adanya perubahan peningkatan pada keterampilan berbicara menggunakan metode bermain peran dengan tema : “Mari, Bermain Peran”, sub tema : “Malu Kepada Paman”. Kriteria keberhasilan yang harus dicapai oleh siswa yaitu 75%. Apabila dalam pelaksanaan siklus I belum mencapai target yang ditentukan maka perlu dilakukan tindakan-tindakan tahap berikutnya, yaitu siklus II. Sehingga memperoleh nilai yang sudah ditargetkan.